KONSEP PENDIDIKAN
1. Pendidikan ialah proses perubahan sikap dan
tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasan manusia melalui
upaya pengajaran dan pelatihan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1991).
2. Dalam pengertian sempit pendidikan berarti
perbuatan atau proses perbuatan untuk memperoleh pengetahuan (McLeod, 1989).
3. Pendidikan ialah segala pengalaman belajar
yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup serta pendidikan
dapat diartikan sebagai pengajaran yang diselenggarakan di sekolah sebagai
lembaga pendidikan formal (Mudyahardjo, 2001:6).
PENGERTIAN BELAJAR
A Pengertian belajar menurut kamus bahasa
Indonesia :
Belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian
atau ilmu, berlatih, berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh
pengalaman.
CIRI-CIRI
BELAJAR
Ciri-ciri
belajar adalah sebagai berikut :
1.
Adanya kemampuan baru atau perubahan. Perubahan tingkah laku
bersifat pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), maupun nilai dan
sikap (afektif).
2.
Perubahan itu tidak berlangsung sesaat saja melainkan menetap
atau dapat disimpan.
3.
Perubahan itu tidak terjadi begitu saja melainkan harus dengan usaha.
Perubahan terjadi akibat interaksi dengan lingkungan.
4.
Perubahan tidak semata-mata disebabkan oleh pertumbuhan fisik/ kedewasaan,
tidak karena kelelahan, penyakit atau pengaruh obat-obatan.
Dari
beberapa pengertian belajar tersebut diatas, kata kunci dari belajar adalah
perubahan perilaku. Dalam hal ini, Moh Surya (1997) mengemukakan ciri-ciri dari
perubahan perilaku, yaitu :
1. Perubahan yang disadari dan disengaja (intensional).
Perubahan
perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu yang
bersangkutan. Begitu juga dengan hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan
menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan, misalnya pengetahuannya
semakin bertambah atau keterampilannya semakin meningkat, dibandingkan sebelum
dia mengikuti suatu proses belajar. Misalnya, seorang mahasiswa sedang belajar
tentang psikologi pendidikan. Dia menyadari bahwa dia sedang berusaha
mempelajari tentang Psikologi Pendidikan. Begitu juga, setelah belajar
Psikologi Pendidikan dia menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan
perilaku, dengan memperoleh sejumlah pengetahuan, sikap dan keterampilan yang
berhubungan dengan Psikologi Pendidikan.
2. Perubahan yang berkesinambungan (kontinyu).
Bertambahnya
pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada dasarnya merupakan kelanjutan
dari pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya. Begitu juga,
pengetahuan, sikap dan keterampilan yang telah diperoleh itu, akan menjadi
dasar bagi pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan berikutnya.
Misalnya, seorang mahasiswa telah belajar Psikologi Pendidikan tentang “Hakekat
Belajar”. Ketika dia mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”, maka
pengetahuan, sikap dan keterampilannya tentang “Hakekat Belajar” akan
dilanjutkan dan dapat dimanfaatkan dalam mengikuti perkuliahan “Strategi
Belajar Mengajar”.
3. Perubahan yang fungsional.
Setiap
perubahan perilaku yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup
individu yang bersangkutan, baik untuk kepentingan masa sekarang maupun masa
mendatang. Contoh : seorang mahasiswa belajar tentang psikologi pendidikan,
maka pengetahuan dan keterampilannya dalam psikologi pendidikan dapat
dimanfaatkan untuk mempelajari dan mengembangkan perilaku dirinya sendiri
maupun mempelajari dan mengembangkan perilaku para peserta didiknya kelak
ketika dia menjadi guru.
4. Perubahan yang bersifat positif.
Perubahan
perilaku yang terjadi bersifat normatif dan menujukkan ke arah kemajuan.
Misalnya, seorang mahasiswa sebelum belajar tentang Psikologi Pendidikan
menganggap bahwa dalam dalam Prose Belajar Mengajar tidak perlu
mempertimbangkan perbedaan-perbedaan individual atau perkembangan perilaku dan
pribadi peserta didiknya, namun setelah mengikuti pembelajaran Psikologi
Pendidikan, dia memahami dan berkeinginan untuk menerapkan prinsip – prinsip
perbedaan individual maupun prinsip-prinsip perkembangan individu jika dia
kelak menjadi guru.
5. Perubahan yang bersifat aktif.
Untuk
memperoleh perilaku baru, individu yang bersangkutan aktif berupaya melakukan
perubahan. Misalnya, mahasiswa ingin memperoleh pengetahuan baru tentang
psikologi pendidikan, maka mahasiswa tersebut aktif melakukan kegiatan membaca
dan mengkaji buku-buku psikologi pendidikan, berdiskusi dengan teman tentang
psikologi pendidikan dan sebagainya.
6. Perubahan yang bersifat pemanen.
Perubahan
perilaku yang diperoleh dari proses belajar cenderung menetap dan menjadi
bagian yang melekat dalam dirinya. Misalnya, mahasiswa belajar mengoperasikan
komputer, maka penguasaan keterampilan mengoperasikan komputer tersebut akan menetap
dan melekat dalam diri mahasiswa tersebut.
7. Perubahan yang bertujuan dan terarah.
Individu
melakukan kegiatan belajar pasti ada tujuan yang ingin dicapai, baik tujuan
jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Misalnya, seorang
mahasiswa belajar psikologi pendidikan, tujuan yang ingin dicapai dalam panjang
pendek mungkin dia ingin memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang
psikologi pendidikan yang diwujudkan dalam bentuk kelulusan dengan memperoleh
nilai A. Sedangkan tujuan jangka panjangnya dia ingin menjadi guru yang efektif
dengan memiliki kompetensi yang memadai tentang Psikologi Pendidikan. Berbagai
aktivitas dilakukan dan diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
8. Perubahan perilaku secara keseluruhan.
Perubahan
perilaku belajar bukan hanya sekedar memperoleh pengetahuan semata, tetapi
termasuk memperoleh pula perubahan dalam sikap dan keterampilannya. Misalnya,
mahasiswa belajar tentang “Teori-Teori Belajar”, disamping memperoleh informasi
atau pengetahuan tentang “Teori-Teori Belajar”, dia juga memperoleh sikap
tentang pentingnya seorang guru menguasai “Teori-Teori Belajar”. Begitu juga,
dia memperoleh keterampilan dalam menerapkan “Teori-Teori Belajar”.
Menurut
Gagne (Abin Syamsuddin Makmun, 2003), perubahan perilaku yang merupakan hasil
belajar dapat berbentuk :
- Informasi verbal; yaitu penguasaan informasi dalam bentuk verbal, baik secara tertulis maupun tulisan, misalnya pemberian nama-nama terhadap suatu benda, definisi, dan sebagainya.
- Kecakapan intelektual; yaitu keterampilan individu dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya dengan menggunakan simbol-simbol, misalnya: penggunaan simbol matematika. Termasuk dalam keterampilan intelektual adalah kecakapan dalam membedakan (discrimination), memahami konsep konkrit, konsep abstrak, aturan dan hukum. Ketrampilan ini sangat dibutuhkan dalam menghadapi pemecahan masalah.
- Strategi kognitif; kecakapan individu untuk melakukan pengendalian dan pengelolaan keseluruhan aktivitasnya. Dalam konteks proses pembelajaran, strategi kognitif yaitu kemampuan mengendalikan ingatan dan cara – cara berfikir agar terjadi aktivitas yang efektif. Kecakapan intelektual menitikberatkan pada hasil pembelajaran, sedangkan strategi kognitif lebih menekankan pada pada proses pemikiran.
- Sikap; yaitu hasil pembelajaran yang berupa kecakapan individu untuk memilih macam tindakan yang akan dilakukan. Dengan kata lain. Sikap adalah keadaan dalam diri individu yang akan memberikan kecenderungan vertindak dalam menghadapi suatu obyek atau peristiwa, didalamnya terdapat unsur pemikiran, perasaan yang menyertai pemikiran dan kesiapan untuk bertindak.
- Kecakapan motorik; ialah hasil belajar yang berupa kecakapan pergerakan yang dikontrol oleh otot dan fisik.
Sementara
itu, Moh. Surya (1997) mengemukakan bahwa hasil belajar akan tampak dalam :
- Kebiasaan; seperti : peserta didik belajar bahasa berkali-kali menghindari kecenderungan penggunaan kata atau struktur yang keliru, sehingga akhirnya ia terbiasa dengan penggunaan bahasa secara baik dan benar.
- Keterampilan; seperti : menulis dan berolah raga yang meskipun sifatnya motorik, keterampilan-keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi.
- Pengamatan; yakni proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui indera-indera secara obyektif sehingga peserta didik mampu mencapai pengertian yang benar.
- Berfikir asosiatif; yakni berfikir dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan lainnya dengan menggunakan daya ingat.
- Berfikir rasional dan kritis yakni menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam menjawab pertanyaan kritis seperti “bagaimana” (how) dan “mengapa” (why).
- Sikap yakni kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan.
- Inhibisi (menghindari hal yang mubazir).
- Apresiasi (menghargai karya-karya bermutu.
- Perilaku afektif yakni perilaku yang bersangkutan dengan perasaan takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang, benci, was-was dan sebagainya.
Sedangkan
menurut Bloom, perubahan perilaku yang terjadi sebagai hasil belajar meliputi
perubahan dalam kawasan (domain) kognitif, afektif dan psikomotor, beserta
tingkatan aspek-aspeknya.
Berikut
beberapa faktor pendorong mengapa manusia memiliki keinginan untuk belajar:
1.
Adanya dorongan rasa ingin tahu
2.
Adanya keinginan untuk menguasai Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai tuntutan
zaman dan lingkungan sekitarnya.
3.
Mengutip dari istilah Abraham Maslow bahwa segala aktivitas manusia didasari
atas kebutuhan yang harus dipenuhi dari kebutuhan biologis sampai
aktualisasi diri.
4.
Untuk melakukan penyempurnaan dari apa yang telah diketahuinya.
5.
Agar mampu bersosialisasi dan beradaptasi dengan lingkungannya.
6.
Untuk meningkatkan intelektualitas dan mengembangkan potensi diri.
7.
Untuk mencapai cita-cita yang diinginkan.
8.
Untuk mengisi waktu luang.
Menurut
UNESCO
UNESCO
telah mengeluarkan kategori jenis belajar yang dikenal sebagai empat pilar
dalam kegiatan belajar ( A. Suhaenah Suparno, 2000 ) :
1.
Learning to know. Pada Learning to know ini terkandung makna
bagaimana belajar, dalam hal ini ada tiga aspek : apa yang dipelajari,
bagaimana caranya dan siapa yang belajar.
2.
Learning to do. Hal ini dikaitkan dengan dunia kerja, membantu
seseorang mampu mempersiapkan diri untuk bekerja atau mencari nafkah. Jadi
dalam hal ini menekankan perkembangan ketrampilan untuk yang berhubungan dengan
dunia kerja.
3.
Learning to live together. Belajar ini ditekankan seseorang/pihak
yang belajar mampu hidup bersama, dengan memahami orang lain, sejarahnya,
budayanya, dan mampu berinteraksi dengan orang lain secara harmonis.
4.
Learning to be. Belajar ini ditekankan pada pengembangan potensi
insani secara maksimal. Setiap individu didorong untuk berkembang dan
mengaktualisasikan diri. Dengan learning to be seseorang akan mengenal jati
diri, memahami kemampuan dan kelemahanya dengan kompetensi-kompetensinya akan
membangun pribadi secara utuh.
PENGERTIAN
PEMBELAJARAN
Istilah
pembelajaran berhubungan erat dengan pengertian belajar dan mengajar. Belajar,
mengajar dan pembelajaran terjadi bersama-sama. Belajar dapat terjadi tanpa
guru atau tanpa kegiatan mengajar dan pembelajaran formal lain. Sedangkan
mengajar meliputi segala hal yang guru lakukan di dalam kelas.
A
Pengertian pembelajaran menurut kamus bahasa Indonesia :
Pembelajaran
adalah proses, cara menjadikan orang atau makhluk hidup belajar.
B
Pengertian pembelajaran menurut beberapa ahli :
1.
Duffy dan Roehler (1989). Pembelajaran adalah suatu usaha yang
sengaja melibatkan dan menggunakan pengetahuan profesional yang dimiliki guru
untuk mencapai tujuan kurikulum.
2.
Gagne dan Briggs (1979:3). Mengartikan instruction atau
pembelajaran ini adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu proses belajar
siswa, yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang, disusun sedemikian
rupa untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses belajar siswa yang
bersifat internal.
3.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS Pembelajaran
adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada
suatu lingkungan belajar.
CIRI-CIRI
PEMBELAJARAN
Ciri-ciri
pembelajaran sebagai berikut :
1.
merupakan upaya sadar dan disengaja
2.
pembelajaran harus membuat siswa belajar
3.
tujuan harus ditetapkan terlebih dahulu sebelum proses
dilaksanakan
4.
pelaksanaannya terkendali, baik isinya, waktu, proses maupun
hasilnya
PEMBELAJARAN,
PENGAJARAN, PEMELAJAR, DAN PEMBELAJAR
Pembelajaran
adalah separangkat tindakan yang
dirancang untuk mendukung proses belajar siswa, dengan memperhitungkan
kejadia-kejadian ekstrim yang berperan terhadap rangkaian kejadian-kejadian
intern yang berlangsung dialami siswa (Winkel,1991)
Pengajaran adalah proses, perbuatan, cara mengajar atau mengajarkan
perihal mengajar, segala sesuatu mengenai mengajar, peringatan (tentang
pengalaman, peristiwa yang dialami atau dilihatnya). (Dariyanto S.S, Kamus
Bahasa Indonesia, 1997). Pengajaran adalah kegiatan yang dilakukan guru dalam
menyampaikan pengetahuan kepada siswa. Pengajaran juga diartikan sebagi
interaksi belajar dan mengajar. Pengajaran berlangsung sebagai suatu proses
yang saling mempengaruhi antara guru dan siswa.
Pemelajar
adalah orang yang melakukan pengajaran.
Pembelajar
adalah orang yang melakukan pembelajaran.
Perbedaan
antara pengajaran dan pembelajaran:
|
NO
|
Pengajaran
|
Pembelajaran
|
|
1
|
Dilaksanakan oleh mereka yang
berprofesi sebagai pengajar
|
Dilaksanakan oleh mereka yang
dapat membuat orang belajar
|
|
2
|
Tujuannya menyampaikan informasi
kepada si belajar
|
Tujuannya agar terjadi belajar
pada diri siswa
|
|
3
|
Merupakan salah satu penerapan
strategi pembelajaran
|
Merupakan cara untuk mengembangkan
rencana yang terorganisasi untuk keperluan belajar.
|
|
4
|
Kegiatan belajar berlangsung bila
ada guru atau pengajar
|
Kegiatan belajar dapat berlangsung
dengan atau tanpa hadirnya guru
|
PRINSIP PEMBELAJARAN MENURUT GAGNE DAN
ATWI SUPARMAN
Beberapa prinsip pembelajaran dikemukakan oleh
Atwi Suparman dengan mengadaptasi pemikiran Fillbeck (1974), sebagai berikut :
1. Respon-respon baru (new responses) diulang
sebagai akibat dari respon yang terjadi sebelumnya.
2. Perilaku tidak hanya dikontrol oleh akibat
dari respon, tetapi juga di bawah pengaruh kondisi atau tanda-tanda
dilingkungan siswa.
3. Perilaku yang timbul oleh tanda-tanda tertentu
akan hilang atau berkurang frekuensinya bila tidak diperkuat dengan akibat yang
menyenangkan.
4. Belajar yang berbentuk respon terhadap
tanda-tanda yang terbatas akan ditransfer kepada situasi lain yang terbatas
pula.
5. Belajar menggeneralisasikan dan membedakan adalah
dasar untuk belajar sesuatu yang kompleks seperti yang berkenaan dengan
pemecahan masalah.
6. Situasi mental siswa untuk menghadapi
pelajaran akan mempengaruhi perhatian dan ketekunan siswa selama proses siswa
belajar.
7. Kegiatan belajar yang dibagi menjadi
langkah-langkah kecil dan disertai umpan balik menyelesaikan tiap langkah, akan
membantu siswa.
8. Kebutuhan memecah materi kompleks menjadi
kegiatan-kegiatan kecil dapat dikurangi dengan mewujudkan dalam suatu model.
9. Keterampilan tingkat tinggi (kompleks)
terbentuk dari keterampilan dasar yang lebih sederhana.
10. Belajar akan lebih cepat, efisien, dan
menyenangkan bila siswa diberi informasi tentang kualitas penampilannya dan
cara meningkatkannya.
11. Perkembangan dan kecepatan belajar siswa sangat
bervariasi, ada yang maju dengan cepat ada yang lebih lambat.
12. Dengan persiapan, siswa dapat mengembangkan
kemampuan mengorganisasikan kegiatan belajarnya sendiri dan menimbulkan umpan
balik bagi dirinya untuk membuat respon yang benar.
Teori-Teori Belajar
Jika
menelaah literatur psikologi, kita akan menemukan banyak teori belajar yang
bersumber dari aliran-aliran psikologi. Dalam tautan di bawah ini akan
dikemukakan empat jenis teori belajar, yaitu: (A) teori belajar behaviorisme;
(B) teori belajar kognitivisme; (C) teori belajar konstruktivisme; (D) teori
belajar humanisme dan (E) teori belajar gestalt.
A. Teori Belajar Behaviorisme
Behaviorisme
merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi
fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental. Dengan kata lain,
behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan
individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih
refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai
individu. Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme
ini, diantaranya :
1. Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike.
Dari
eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum
belajar, diantaranya:
- Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus – Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.
- Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
- Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.
2. Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov
Dari
eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan
hukum-hukum belajar, diantaranya :
- Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
- Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
3. Operant Conditioning menurut B.F. Skinner
Dari
eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap
burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
- Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
- Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber
(Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant
adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan.
Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus,
melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu
sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya
sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan
stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
4. Social Learning menurut Albert Bandura
Teori
belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah
sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori
belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura
memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus
(S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi
antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar
belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam
belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan
penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang
pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment,
seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang
perlu dilakukan.
Kajian
konsep dasar belajar dalam Teori Behaviorisme didasarkan pada pemikiran bahwa
belajar merupakan salah satu jenis perilaku (behavior) individu atau
peserta didik yang dilakukan secara sadar. Individu berperilaku apabila ada
rangsangan (stimuli), sehingga dapat dikatakan peserta didik di SD/MI
akan belajar apabila menerima rangsangan dari guru. Semakin tepat dan intensif
rangsangan yang diberikan oleh guru akan semakin tepat dan intensif pula
kegiatan belajar yang dilakukan peserta didik. Dalam belajar tersebut kondisi
lingkungan berperan sebagai perangsang (stimulator) yang harus direspon
individu dengan sejumlah konsekuensi tertentu. Konsekuensi yang dihadapi
peserta didik, ada yang bersifat positif (misalnya perasaan puas, gembira,
pujian, dan lain-lain sejenisnya) tetapi ada pula yang bersifat negatif
(misalnya perasaan gagal, sedih, teguran, dan lain-lain sejenisnya). Konsekuensi
positif dan negatif tersebut berfungsi sebagai penguat (reinforce) dalam
kegiatan belajar peserta didik.
Seringkali
guru mengaplikasikan konsep belajar menurut teori behaviorisme secara tidak
tepat, karena setiap kali peserta didik merespon secara tidak tepat atau tidak
benar suatu tugas, guru memarahi atau menghukum peserta didik tersebut.
Tindakan guru seperti ini (memarahi atau menghukum setiap kali peserta didik
merespon secara tidak tepat) dapat disebut salah atau tidak profesional apabila
hukuman (negative consequence) tidak difungsikan sebagai penguat atau reinforce.
Peserta
didik seringkali melakukan perilaku tertentu karena meniru apa yang dilihatnya
dilakukan orang lain di sekitarnya seperti saudara kandungnya, orangtuanya,
teman sekolahnya, bahkan oleh gurunya. Oleh sebab itu dapat dikatakan, apabila
lingkungan sosial di mana peserta didik berada sehari-hari merupakan lingkungan
yang mengkondisikan secara efektif memungkinkan suasana belajar, maka peserta
didik akan melakukan kegiatan atau perilaku belajar yang efektif.
Sebetulnya
masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik
ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan,
Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan
Metode Ambang (the treshold method), metode meletihkan (The Fatigue
Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The Incompatible Response
Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan.
B. Teori Belajar Kognitivisme
Teori
belajar kognitivisme mengacu pada wacana psikologi kognitif, yang didasarkan
pada kegiatan kognitif dalam belajar. Para ahli teori belajar ini berupaya
menganalisis secara ilmiah proses mental dan struktur ingatan atau cognition
dalam aktifitas belajar. Cognition diartikan sebagai aktifitas
mengetahui, memperoleh, mengorganisasikan, dan menggunakan pengetahuan
(Lefrancois, 1985). Tekanan utama psikologi kognitif adalah struktur kognitif,
yaitu perbendaharaan pengetahuan pribadi individu yang mencakup ingatan jangka
panjangnya (long-term memory). Psikologi kognitif memandang manusia
sebagai makhluk yang selalu aktif mencari dan menyeleksi informasi untuk
diproses. Perkatian utama psikologi kognitif adalah upaya memahami proses
individu mencari, menyeleksi, mengorganisasikan, dan menyimpan informasi.
Belajar kognitif berlangsung berdasar schemata atau struktur mental
individu yang mengorganisasikan hasil pengamatannya.
Struktur
mental individu tersebut berkembangan sesuai dengan tingkatan perkembangan
kognitif seseorang. Semakin tinggi tingkat perkembangan kognitif seseorang
semakin tinggi pula kemampuan dan keterampilannya dalam memproses berbagai
informasi atau pengetahuan yang diterimanya dari lingkungan, baik lingkungan
phisik maupun lingkungan sosial. Itulah sebabnya, teori belajar kognitivisme
dapat disebut sebagai (1) teori perkembangan kognitif, (2) teori kognisi
sosial, dan (3) teori pemrosesan informasi.
1.
Perkembangan Kognitif menurut Piaget
Piaget
merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran
konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan
sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori
tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan
kognitif individu meliputi empat tahap yaitu :
(1)
sensory motor;
(2)
pre operational;
(3)
concrete operational dan
(4)
formal operational.
Pemikiran
lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu
asimilasi dan akomodasi. James Atherton (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi
adalah “the process by which a person takes material into their mind from
the environment, which may mean changing the evidence of their senses to make
it fit” dan akomodasi adalah “the difference made to one’s mind or
concepts by the process of assimilation”
Asimilasi
ditempuh ketika individu menyatukan informasi baru ke perbendaharaan informasi
yang sudah dimiliki atau diketahuinya kemudian menggantikannya dengan informasi
terbaru. Individu mengorganisasikan makna informasi itu ke dalam ingatan jangka
panjang (long-term memory). Ingatan jangka panjang yang terorganisasikan
inilah yang diartikan sebagai struktur kognitif. Struktur kognitif berisi
sejumlah coding yang mengadung segi-segi intelek yang mengatur atau
memerintah perilaku individu; perubahan perilaku mendasari penetapan
tahap-tahap perkembangan kognitif. Tiap tahapan perkembangan menggambarkan isi
struktur kognitif yang khas sesuai perbedaan antar tahapan. Tahapan
perkembangan belajar menurut Piaget di gambarkan pada diagram di bawah ini :
1)
Sensorimotor inteligence (lahir
s.d usia 2 tahun): perilaku terikat pada panca indera dan gerak motorik. Bayi
belum mampu berpikir konseptual namun perkembangan kognitif telah dapat diamati
2)
Preoperation thought (2-7 tahun): tampak kemampuan
berbahasa, berkembang pesat penguasaan konsep. Bayi belum mampu berpikir
konseptual namun perkembangan kognitif telah dapat diamati
3)
Concrete Operation (7-11 tahun): berkembang daya mampu
anak berpikir logis untuk memecahkan masalah konkrit. Konsep dasar benda,
jumlah waktu, ruang, kausalitas
4)
Formal Operations (11-15 tahun): kecakapan kognitif
mencapai puncak perkembangan. Anak mampu memprediksi, berpikir tentang situasi
hipotesis, tentang hakekat berpikir serta mengapresiasi struktur bahasa dan
berdialog. Sarkasme, bahasa gaul, mendebat, berdalih adalah sisi bahasa remaja
cerminan kecakapan berpikir abstrak dalam/melalui bahasa
Dikemukakannya
pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap
perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan
untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi
dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru
hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau
berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal
dari lingkungan. Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam
pembelajaran adalah :
- Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
- Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
- Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
- Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
- Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.
2.
Kognisi Sosial oleh L.S. Vygotsky
L.S.
Vygotsky, mendasari pemikiran bahwa budaya berperan penting dalam belajar
seseorang. Budaya adalah penentu perkembangan, tiap individu berkembang dalam
konteks budaya, sehingga proses belajar individu dipengaruhi oleh lingkungan utama
budaya keluarga. Budaya lingkungan individu membelajarkannya apa dan bagaimana
berpikir. Konsep dasar teori ini diringkas sebagai berikut:
a.
Budaya memberi sumbangan perkembangan intelektual individu melalui 2
cara, yaitu melalui (i) budaya dan (ii) lingkungan budaya. Melalui budaya
banyak isi pikiran (pengetahuan) individu diperoleh seseorang, dan melalui
lingkungan budaya sarana adaptasi intelektual bagi individu berupa proses dan
sarana berpikir bagi individu dapat tersedia.
b.
Perkembangan kognitif dihasilkan dari proses dialektis (proses percakapan)
dengan cara berbagi pengalaman belajar dan pemecahan masalah bersama orang
lain, terutama orangtua, guru, saudara sekandung dan teman sebaya.
c.
Awalnya orang yang berinteraksi dengan individu memikul tanggung jawab
membimbing pemecahan masalah; lambat-laun tanggung jawab itu diambil alih
sendiri oleh individu yang bersangkutan.
d.
Bahasa adalah sarana primer interaksi orang dewasa untuk menyalurkan sebagian
besar perbendaharaan pengetahuan yang hidup dalam budayanya.
e.
Seraya bertumbuh kembang, bahasa individu sendiri adalah sarana primer adaptasi
intelektual; ia berbahasa batiniah (internal language) untuk
mengendalikan perilaku.
f.
Internalisasi merujuk pada proses belajar. Menginternalisasikan pengetahuan
dan alat berpikir adalah hal yang pertama kali hadir ke kehidupan individu
melalui bahasa.
g.
Terjadi zone of proximal development atau kesenjangan antara yang
sanggup dilakukan individu sendiri dengan yang dapat dilakukan dengan bantuan
orang dewasa.
h.
Karena apa yang dipelajari individu berasal dari budaya dan banyak di antara
pemecahan masalahanya ditopang orang dewasa, maka pendidikan hendaknya tidak
berpusat pada individu dalam isolasi dari budayanya.
i.
Interaksi dengan budaya sekeliling dan lembaga-lembaga sosial sebagaimana
orangtua, saudara sekandung, individu dan teman sebaya yang lebih cakap sangat
memberi sumbangan secara nyata pada perkembangan intelektual individu.
3.
Pemprosesan Informasi dari Robert Gagne
Asumsi
yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat
penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari
pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan
informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk
hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara
kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi
internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil
belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi
eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam
proses pembelajaran.
Model
belajar pemrosesan informasi ini sering pula disebut model kognitif information
processing, karena dalam proses belajar ini tersedia tiga taraf struktural
sistem informasi, yaitu:
- a. Sensory atau intake register: informasi masuk ke sistem melalui sensory register, tetapi hanya disimpan untuk periode waktu terbatas. Agar tetap dalam sistem, informasi masuk ke working memory yang digabungkan dengan informasi di long-term memory.
- b. Working memory: pengerjaan atau operasi informasi berlangsung di working memory, dan di sini berlangsung berpikir yang sadar. Kelemahan working memory sangat terbatas kapasitas isinya dan memperhatikan sejumlah kecil informasi secara serempak.
- c. Long-term memory, yang secara potensial tidak terbatas kapasitas isinya sehingga mampu menampung seluruh informasi yang sudah dimiliki peserta didik. Kelemahannya adalah betapa sulit mengakses informasi yang tersimpan di dalamnya.
Menurut
Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi;
(2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6)
generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan balik.
C.
Teori Belajar Konstruktivisme
Konsep
belajar menurut teori belajar konstruktivisme yaitu pengetahuan baru
dikonstruksi sendiri oleh peserta didik secara aktif berdasarkan pengetahuan
yang telah diperoleh sebelumnya. Pendekatan konstruktivisme dalam proses
pembelajaran didasari oleh kenyataan bahwa tiap individu memiliki kemampuan
untuk mengkonstruksi kembali pengalaman atau pengetahuan yang telah
dimilikinya. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa pembelajaran konstruktivisme
merupakan satu teknik pembelajaran yang melibatkan peserta didik untuk membina
sendiri secara aktif pengetahuan dengan menggunakan pengetahuan yang telah ada
dalam diri mereka masing-masing.
Guru
hanya sebagai fasilitator atau pencipta kondisi belajar yang memungkinkan
peserta didik secara aktif mencari sendiri informasi, mengasimilasi dan
mengadaptasi sendiri informasi, dan mengkonstruksinya menjadi pengetahuan yang
baru berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki masing-masing. Berikt tabel
peranan peserta didik dan guru dalam pembelajaran konstruktivisme
|
Peranan Peserta Didik
|
Peranan Guru
|
|
|
|
dan pokok pikiran, kemudian
|
masalah atau pokok pikiran yang
|
|
menganalisis dan menjawabnya
|
dikemukakannya sejelas mungkin
|
|
sendiri.
|
agar teman sekelasnya dapat turut
|
|
serta menganalisis dan
menjawabnya.
|
|
kegiatan belajarnya atau
|
|
|
penyelesaiakan suatu masalah.
|
agar peserta didik merasa
|
|
bertanggungjawab sendiri dalam
|
|
sekelasnya mendiskusikan
|
kegiatan belajarnya.
|
|
penyelesaian masalah atau pokok
|
|
|
pikiran yang mereka munculkan, dan
|
penyelesaian suatu masalah atau
|
|
apabila dirasa perlu dapat
|
pokok pikiran apabila mereka
|
|
menanyakannya kepada guru.
|
mengalami jalan buntu.
|
|
|
|
berupaya memperoleh pemahaman
|
mampu mengemukakan atau
|
|
yang mendalam (deep
understanding)
|
menemukan masalah atau pokok
|
|
terhadap sesuatu topik masalah
|
pikiran untuk diselesaikan dalam
|
|
belajar.
|
proses pembelajaran di kelas.
|
|
|
|
mengukuhkan pemikiran di antara
|
belajar secara kooperatif dalam
|
|
mereka, sehingga jiwa sosial
mereka
|
menyelesaikan suatu masalah atau
|
|
menjadi semakin dikembangkan.
|
pokok pikiran yang berkembang di
|
|
Peranan Peserta Didik
|
Peranan Guru
|
|
kelas.
|
|
menggunakan berbagai hipotesis
|
|
|
(kemungkinan jawaban) dalam
|
aktif mengerjakan tugas-tugas yang
|
|
memecahkan suatu masalah.
|
menuntut proses analisis,
sintesis,
|
|
dan simpulan penyelesaiannya.
|
|
data atau informasi pendukung
dalam
|
|
|
penyelesaian suatu masalah atau
|
didik, baik dalam bentuk penilaian
|
|
pokok pikiran yang dimunculkan
|
proses maupun dalam bentuk
|
|
sendiri atau yang dimunculkan oleh
teman sekelas.
|
penilaian produk.
|
Tasker
(1992:30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme
sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif peserta didik dalam mengkonstruksi
pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara
gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara
gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley
(1991:12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam
pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak
dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif
peserta didik. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu
pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Dalam
upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996:20) mengajukan
beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut:
(1) memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengemukakan gagasannya
dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif,
(3) memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mencoba gagasan baru, (4)
memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki peserta
didik, (5) mendorong peserta didik untuk memikirkan perubahan gagasan mereka,
dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Diharapkan
melalui pemeblajaran konstruktivisme, peserta didik dapat tumbuh kembang
menjadi individu yang penuh kepercayaan diri yang memiliki sifat-sifat antara
lain:
- Bersikap terbuka dalam menerima semua pengalaman dan mengembangkannya menjadi persepsi atau pengetahuan yang baru dan selalu diperbaharui;
- Percaya diri sehingga dapat berperilaku secara tepat dalam menghadapi segala sesuatu;
- Berperasaan bebas tanpa merasa terpaksa dalam melakukan segala sesuatu tanpa mengharapkan atau tergantung pada bantuan orang lain;
- Kreatif dalam mencari pemecahan masalah atau dalam melakukan tugas yang dihadapinya.
D.
Teori Belajar Humanisme
Teori
belajar humanisme memandang kegiatan belajar merupakan kegiatan yang melibatkan
potensi psikis yang bersifat kognitif, afektif, dan konatif. Ibu, yang
dicontohkan di atas hanya melihat kegiatan belajar anaknya dari sisi afektif
semata tanpa menyadari bahwa sisi afektif (perasaan) dan konatif (psikomotorik)
turut pula berperan dalam belajar.
Salah
seorang tokoh teori belajar humanisme adalah Carl Ransom Rogers (1902- 1987)
yang lahir di Oak Park, Illinois, Chicago, Amerika Serikat. Rogers terkenal
sebagai seorang tokoh psikologi humanis, aliran fenomenologis-eksistensial,
psikolog klinis dan terapis. Ide dan konsep teorinya banyak didapatkan dalam
pengalaman-pengalaman terapeutiknya yang banyak dipengaruhi oleh teori
kebutuhan (needs) yang diperkenalkan Abraham H. Maslow.
Menurut
teori kebutuhan Maslow, di dalam diri tiap individu terdapat sejumlah kebutuhan
yang tersusun secara berjenjang, mulai dari kebutuhan yang paling rendah tetapi
mendasar (physiological needs) sampai pada jenjang paling tinggi (self
actualization). Setiap individu mempunyai keinginan untuk mengaktualisasi
diri, yang oleh Carl R. Rogers disebut dorongan untuk menjadi dirinya sendiri (to
becoming a person). Peserta didik pun memiliki dorongan untuk menjadi
dirinya sendiri, karena di dalam dirinya terdapat kemampuan untuk mengerti
dirinya sendiri, menentukan hidupnya sendiri, dan menangani sendiri masalah
yang dihadapinya. Itulah sebabnya, dalam proses pembelajaran hendaknya
diciptakan kondisi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik secara aktif
mengaktualisasi dirinya.
Aktualisasi
diri merupakan suatu proses menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat
dan potensi-potensi psikologis yang unik. Proses aktualisasi diri seseorang
berkembang sejalan dengan perkembangan hidupnya karena setiap individu,
dilahirkan disertai potensi tumbuh-kembang baik secara fisik maupun secara
phisik masing-masing. Proses tumbuh-kembang pada setiap individu mengikuti
tahapan, arah, irama, dan tempo sendiri-sendiri, yang ditandai oleh berbagai
ciri atau karakteristiknya masing-masing. Ada individu yang tempo
perkembangannya cepat tetapi iramanya tidak stabil dan arahnya tidak menentu,
dan ada pula individu yang tempo perkembangannya tidak cepat tetapi irama dan
arahnya jelas. Dalam kaitannya dengan proses pendidikan formal (sekolah),
Slavin (1994:70- 110) mengelompokkan tahapan perkembangan anak, yaitu (1)
tahapan early childhood, (2) tahapan middle childhood, dan (3)
tahapan adolescence, dengan dimensi utama perkembangan mencakup (a)
dimensi kognitif, (b) dimensi fisik, dan (c) dimensi sosioemosi. Tiap dimensi
perkembangan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda antara tahapan
perkembangan yang satu dengan tahapan perkembangan yang lainnya.
Pada
tahapan early childhood, perkembangan individu dalam dimensi
perkembangan kognitif lebih ditandai oleh penguasaan bahasa (language
aquisition). Individu pada tahapan perkembangan ini mendapatkan banyak
sekali perbendaharaan bahasa. Sejak lahir sampai pada usia 2 tahun biasanya
individu (bayi) mencoba memahami dunia sekitarnya melalui penggunaan rasa (senses).
Pengetahuan atau apa yang diketahuinya lebih banyak didasarkan pada gerakan
fisik, dan apa yang dipahaminya terbatas pada kejadian yang baru saja
dialaminya.
Pada
tahapan perkembangan middle childhoods, perkembangan kognitif seseorang
mulai bergeser ke perkembangan proses berpikir. Pada awalnya, proses berpikir
individu pada tahapan perkembangan ini dimulai dengan hal-hal konkrit
operasional, dan selanjutnya ke hal-hal abstrak konseptual. Apabila individu
gagal dalam perkembangan proses berpikir dalam hal-hal konkrit operasional,
maka besar kemungkinan mengalami kesulitan dalam proses berpikir abstrak
konseptual.
Pada
tahapan perkembangan adollescence, perkembangan kognitif lebih ditandai
oleh perkembangan fungsi otak (brain) sebagai instrumen berpikir.
Berpikir formal operasional atau berpikir abstrak konseptual mulai berkembang;
di samping itu mulai berkembang pola pikir reasoning (penalaran) baik
secara induktif (khusus=>umum) maupun secara deduktif (umum=>khusus).
Dalam menghadapi segala kejadian atau pengalaman tertentu, individu mengajukan
hipotesis atau jawaban sementara yang menggunakan pola pikir deduktif.
E.
Teori Belajar Gestalt
Gestalt
berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau
konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa
tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan.
Menurut Koffka dan Kohler, ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu :
- Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan figure.
- Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
- Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.
- Arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.
- Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan
- Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.
Terdapat
empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:
- Perilaku “Molar“ hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku “Molecular”. Perilaku “Molecular” adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot atau keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku dalam keterkaitan dengan lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain sepakbola adalah beberapa perilaku “Molar”. Perilaku “Molar” lebih mempunyai makna dibanding dengan perilaku “Molecular”.
- Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara lingkungan geografis dengan lingkungan behavioral. Lingkungan geografis adalah lingkungan yang sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada sesuatu yang nampak. Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan behavioral), padahal kenyataannya merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan geografis).
- Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya, adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces, gemini dan sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain, gumpalan awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu.
- Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan suatu proses yang dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis. Proses pengamatan merupakan suatu proses yang dinamis dalam memberikan tafsiran terhadap rangsangan yang diterima.
Aplikasi
teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara
lain :
- Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
- Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
- Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
- Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
- Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat.
Judd
menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam
pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi).
Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap
prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk
kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena
itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai
prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.
Prinsip
Perencanaan Pembelajaran
Sejumlah
prinsip yang harus diperhatikan dalam perencanaan pembelajaran yang mendidik
atau dalam pengembangan kurikulum di SD/MI (termasuk pula pada satuan
pendidikan lainnya pada tingkat pendidikan dasar dan menengah) adalah Kurikulum
hendaknya dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi
sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjaab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan
kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan,
dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. Memiliki posisi
sentral berarti kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik. Prinsip ini
sesuai dengan konsep dasar teori belajar konstruktivisme dan humanisme, karena
peserta didik melakukan kegiatan belajar sesuai dengan potensi yang dimilikinya
dan diarahkan ke pemenuhan kebutuhan dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar